CARA DAPAT UANG ONLINE

>

makalah hermeneutika

makalah hermeneutika


BAB I
PENDAHILUAN
Ibarat virus ganas yang terus menjalar dan susah untuk didapatkan vaksin yang tepat untuk membasmi. Liberalism seakan terus bermanuver tanpa henti dan terus menghantam pemikiran-pamikiran kalangan akademisi kita saat ini. Akhi-akhir ini kita umat islam dikejutkan oleh berbagai macam arus serangan pemikiran liberal, baik dilakukan oleh orientalis maupun orang-orang islam yang terpengaruh pemikiran barat. Dalam ilmu tafsir, dimunculkan ilmu hermeneutika, ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Qur’an. Pemikiran ini terus berkembang mengepakkan sayapnya keberbagai kampus-kampus di negeri kita tercinta, bahkan telah jauh pada pengesahan metodologi ini menjadi kurikulum kampus dan menjadi mata kuliah wajib dijurusan tafsir dan hadist selanjutnya disosialisasikan keberbagai jurusan lainnya. Seakan-akan para petinggi kampus menutup mata akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemikiran ini. Karena pada dasarnya dikalangan kristenpun mereka menolak gerakan liberalism itu sendiri. Kampus-kampus islam kini makin bertambah jumlahnya, mahasiswapun makin bertambah namun, tantanganpun tak bertambah ringan. Disamping serbuan arus komersialisasi pendidikan, karena kecilnya tanggung jawab pemerintah masalah yang lebih berat dihadapi para akademis muslim diperguruan tinggi ialah besarnya serbuan arus pemikiran barat ke dalam studi dan pemikiran islam. Masalah ini semakin berat sejalan dengan berjubelnya ribuan alumni pusat-pusat studi islam di Barat yang kini memegang posisi-posisi penting sebagai dosen-dosen dan peneliti di kampus-kampus berlabel islam. Misi orientalisme Barat telah semakin menunjukkan kesuksesan di Indinesia. Jelas ilmu penafsiran yang berasal dari tradisi di luar islam ini, dulunya tidak dikenal oleh para ulama’ islam, jika ilmu ini diajarkan tentu ada maksudnya, yaitu ingin menggantikan metodologi ilmu tafsir yang selama ini kita kenal.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai, apa itu Hermeneutika, dan bagaimana jika Hermeneutika diterapkan dalam Al-Qur’an?.
BAB II
LANDASAN TEORI
Secara harfiyah hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seseorang mitologis dalam mitologi yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius) dikalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani hermes dikenel sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Untuk melaksanakan fungsi itu, Hermes harus memenuhi syarat pokok: memahami pesan Tuhan serta tahu bagaimana menyampaikannya kepada manusia dengan bahasa mereka. Paran Hermes kira-kira sama dengan seorang penerjemah (interpreter) yang harus menguasai bahasa asal dan bahasa tujuan sekaligus. Dari tradidi Yunani inilah, Hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang kemudian hari dikembangkan oleh para Teolog dam Filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu social dan humaniora.
Hermeneutika memang bisanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks agama. Jadi, Hermeneutika memeng bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan secara spesifik dengan penafsiran teks agama.
Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta’wil. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa tafsir atau ta’wil adalah istilah arab untuk hermeneutika.
Definisi Hermeneutika masilah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi Hermeneutika secara luas setidaknya dapat dibagi menjadi enam, yaitu:
1)      Teori penafsiran kitab suci (theory of biblical exegesis)
2)      Hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology)
3)      Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding)
4)      Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of geisteswissenschaften)
5)      Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensi dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding)
6)      Hermeneutika sebagai system penafsiran (system of interpretation) dapat diterapkan baik secara kolektif maupun secara personal untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Dalam buku Dr. Shofa Abdul Salam Ali Ja’far yang berjudul “Hermeneutika Tafsir Alaslu Fi Amalil Fanni” bahwa istilah hermeneutika bias ditinjau dari beberapa makna diantaranya:
  1. Perkataan. Yaitu penyampaian melalui kata-kata
  2. Penjelasan. Seperti menjelaskan sesuatu hal yang belum dapat dipahami
  3. Terjemah. Yaitu menerjemahkan kata dari atau ke bahasa asing.
            Adapun tujuan dari Hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dalam Bibel, hermeneutika bukan sekedar tafsir melainkan satu metode tafsir tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bias sangat berbeda dengan metodee tafsir Al-Qur’an. Dikalangan Kristen saat ini penggunaan hermeneutika dalam interpretasi bible sudah sangat lazim digunakan, walaupun masih banyak kontroversi yang terjadi dalam kalangan mereka sendiri. Salah satu yang dirujuk oleh kalangan akademis IAIN dalam menulis hermeneutika adalah buku E. Sumaryono berjudul Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Buku ini memuat kesalahan yang fatal dalam memandang konsep teks kitab suci agama-agama yang menyatakan bahwa tafsir (Al-Qur’an) sama dengan hermeneutika. Ditulis dalam buku ini, disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi illahi seperti Al-Qur’an, taurat, kitab-kitab veda dan upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpreter atau hermeneutika. Bagi kaum Kristen, realitas teks Bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para hermeneutan dapat mengolah dengan kritis makna teks bible mereka yang memang teks manusia, mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi histories, dan makna literal suatu teks Bibel. Perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Tetapi metode historis kritis dan analisis penulis tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur’an, yang memang merupakan kitab yang tanzil.













BAB III
ANALISIS
Hermeneutika Merasuk kedalam Pemikikiran Islam
Memasuki abad ke-20, hermeneutika mulai merasuk kepada para pemikiran islam sebagai buah dari studi islam di barat’ Muhammad Arkoen adalah orang yang pertama kali membawa konsep hermeneutika ini kedunia islam. Ia berpendapat bahwa umat islam hanya akan maju dan keluar dari keterpurukanya apabila berani melakukansesuatu yang belum pernah dilakukanya,yaitu mendekontruksi [membongkar] Al-Qur’an untuk menggali nilai-nilai islam yang telah terpendam lama, dari sejak penulisnya hingga sekarang. Mendekontruksi  Al-Qur’an  berarti mendinamisir umat ini menuju kearah kemajuan,oleh karena itu dekontruksi dipandangnya sebagai bagian dari ijtihat. Maka  ia sangatmenyayangkan para pemikir islam yang serring kali menolak hermeneutika untuk diterapkan. Menurut Muhammad arkoen, sarjana muslim menolak menggunakan metode ilmiah [bliblicalcriticism] karena alas an politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku. Psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makluk-an al-qur’an.
Senada dengan Arkoen,Nars Hamid Abu Zayd [I943]adalah orang kedua yang membawa gagasan hermeneutika dalam mengkaji Al-Qur’an.bedanya,kalau Arkoen hanya sebatas teori,sedangkan Abu Zayd sudah sampai penerapanya. Oleh karena itu tantanganya dari kalangan intelektual yang anti sekuler lebih besar terhadapnya  dari pada Arkoen. Bahkan ulama’ Azhar sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Abu Zayd.
Pandanganya tentang Al-Qur’an adalah bahwa teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya selama lebih dari 20 tahun. oleh sebab itu Al-Qur’an adalah produk budaya [muntaj thaqafi]. Bersamaan dengan itu, ia juga menjadi produsen budaya [muntaj li-taqafati]karena menjadi teks yang hegemonic dan menjadi referensi bagi teks yang lain. Al-qur’an yang dibentuk oleh realitas dan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, oleh karrena  itu AbuZayd menganggap Al-qur’an sebagai teks bahasa [nas lughawi]. Realitas, budaya dan bahasa,merupakan fenomena histories dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Sehinngga disini ia berkesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah teks histories [a historical text]. Maka historitas teks,realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adlah teks manusiawi [nas insani].

HERMENEUTIKA DALAM AL-QUR’AN
Hermeneutika pernah berjaya dalam menafsirkan bibel [kitab suci umat Kristen].dan memang suatu hal yang tidak aneh jika hermeneutika berhasil diterapkan pada bible, atau bahkan bible memerlukanya. Karena menurut penelitian para kristolog, baik dari kalangan muslimin maupun non muslimin, kitab bibel yang tidak lagi ditulis dalam bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak pengarang dengan versi yang berbeda. Dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifikan. Bahkan masing-masing bible seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Ugi Suharto ada tiga penyebab penerapan hermeneutika meraih sukses pada bible, yaitu: pertama, kalangan kristiani masih berdebat tentang apakah secara harfiah bible itu bias diangkat kalam Tuhan atau hanya perkataan manusia. Kedua, adanya perbedaan pengarang yang menuliskan bibel mengakibatkan perbedaan gaya dan kosakata dalam bibel. Ketiga, teks bibel ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa awalnya sehingga mempunyai masalah dengan isu orisinalitas.
Namun demikian,apakah hermeneutika akan meraih sukses yang sama apabila diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an?. Tentu sangat mustahil, karena sudah disepakati oleh Jumhur Ulama’ bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah SWT. Al-Qur’an tidak dikarang oleh manusia dan sampai hari ini Al-Qur’an akan tetap ditulis dan dibaca menurut bahasa aslinya. Melihat fakta tersebut, nampaknya tidak tersedia peluang untuk menerapkan hermeneutika dalam upaya menginterpretasikan Al-Qur’an. Alasan lain mengapa hermeneutika tidak tepat untuk Al-Qur’an adalah metode hermeneutika bukan hanya mengiterpretasikan tetapi juga mengkritisi. Bagaimana mungkin Al-Qur’an wahyu Tuhan akan dikritisi oleh manusia yang bukan siapa-siapa jika dibandingkan oleh Allah SWT sang kholiq. Tentu akan sangat naïf dan ironis sekali. Al-Qur’an adalah kitab suci yang dapat diterima orang yang mengimaninya. Bagi yang tidak mengimaninya tentu tidak berhak mengkritisi.
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum gerakan ini, telah banyak penulis yang mengajukan hermeneutika sebagai alternative metode penafsiran Al-Qur’an, namun mereka gagal dan tidak berhasil. Alphonse Mingana misalnya, pendekatan Kristen adalah irak dan guru besar Universitas Birmingham-Inggris, pada tahun 1927 mengatakan “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahidi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Berdasarkan pengalaman yang menimpa penganut Kristen, hermeneutika telah menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah. Pecahnya Kristen menjadi Khatoliq dan Protestan adalah hasil sumbangan dari hermeneutika. Jadi, semboyan pengusung hermeneutika “untuk menghindari perpecahan umat dibutuhkan alternative baru yaitu hermeneutika” menjadi tidak relevan.
DAMPAK HERMENEUTIKA
  1. Relativisme Tafsir
Pada dampak relativisme tafsir, para Hermeneutan menganut faham, tidak ada tafsir yang absolute semua bersifat relative dan bisa berubah sesuai situasi dan kondisi pada saat penafsiran. Semua dipandang personal, temporal, kontektual, relative. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut. “dengan sangat intensif hermeneutika membongkar kenyataan bahwaa siapapun orangnya,kelompok apapun namanya, kalau pada level manusia, pastilah terbatas’’ parsial kontektual’’ pemahamanya, serba bisa keliru.
Pada konsep relativisme, tidak ada yang absolute, semua manusia bisa salah, lantas bagaimana dengan nabi Muhammad SAW. apabila konsep ini dipaksakan untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka dibongkarlah konsep-konsep dasar dlam syari’ah islam. Padahal dalam menafsirkan Al-Qur’an para ulama’terdahulu kita tidak pernah berselisih akan kewajiban sholat lima waktu,puasa dibulan ramadhon, haji ke baitulloh, mengeluarkan zakat.kita tidak dapat mendapatkan dari ulama’ kita yang menghalalkan perkawinan antar agama,homo seksual, lesbian. Tiba-tiba muncul buku muslim reformis,Prof, Musdam Mulia menyampaikan dalam bukunya disebut ,metode kontektualisasi untuk surat Al-Muntahanah ayat 10, yang menjadi landasan pengharaman pernikahan antara muslim dan non muslim, katanya:jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, karangan itu sngat wajar mengingat kaum kafir Quraisi sanga memusuihi nabi dan pengikutnya. Walau waktu itu konteksnya peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana lawan dan mana musuh. Karena itu ayat ini harus memahami secara kontekstualisasi. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud dicabut dengan sendirinya.akankah bermunculan lagi MusdanMulia yang berikutnya,tentu kita tidak mengharapkan hal itu.adpun bahaya yang akan ditimbulkandari paham relativisme ini diantaranya adalah:
1.      Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas,sehinga beranggapan bahwa, semua hokum islam bersifat relative.
2.      Menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan yang lahir dari Al-Qur’andan sunah rosul yang teruji ratusan tahun.
3.      Menempatkan islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.bagi mereka tak ada yang ada tetap dalam islam.hukum-hukum islam yang sudah dinyatakan final dan tetap[Tsawabit] akan senan tiasa dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman.
  1. Curiga dan mencerca Ulama’ Islam
Para Hermeneutan, mereka tidak segan-segan mencerca ulama-ulama islam yang terkemuka, yang menjadi qudwah umat islam selama ratusan tahun, diantara ulama yang mereka gugat adalah Imam Syafi’i.sebagaimana telah kita ketahui bahwa selain penemu metodologi studi islam yang brilian yaitu cabang ilmu Ushulul Fikih, dengan kitabnya  Al-Risalah, imam Syafi’i juga sebagai mufasir .Beliau menjadi panutan ulama dan muslimin sedunia. Tapi apa yang dilakukan oleh para hermeneutan, dengan menjadikan imam Syafi’i sebagai bahan kritikan, walaupun sebenarnya sikap mereka tidak berangkat dari studi kritis yang utuh dan objektif. Dalam buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan Paranadina dan Asian Foundation, disebutkan: “kaum muslim lebih suka dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran Fiqihnya yang dibuat oleh imam Syafi’I”. kita lupa, imam Syafi’I memang arsitek Ushulul Fiqh yang paling brilian, tapi juga imam Syafi’i-lah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih 12 abad. Sejak Syafi’I meletakkan kerangka ushulul fiqihnya, para pemikir fiqih muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’I itu diposisikanbegitu agung, sehingga saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash syar’I (Al-Qur’an dan Hadits). Buktinya setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu dibawah kerangka Syafi’i. Dan banyak lagi cercaan-cercaan yang mereka lontarkan kepada ulama’ islam yang telah menjadi panutan umat sejak ratusan tahun lamanya, jika dicermati mereka selalu bersifat kritis kepada para ulama’ islam dan dengan mudah mengambil perkataan-perkataan pemikir barat tanpa sikap kritis sedikitpun. Para pemikir barat yang sering menjadi rujukan mereka diantaranya, Imanuel Kant, Paul Ricour, Habermas dan sebagainya.
c.       Dekontruksi Konsep Wahyu
Sebagai pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otensitas Al-Qur’an sebagai kitab dan lafadz dan maknanya dari Allah. Pengguna hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan enggan terhadap hal-hal yang bersifa tresenden. Seorang hermeneutan yaitu Nars Hamid Abu Zaid memandang bahwa Al-Qur’an adlah produk budaya Arab. Dia tidak bisa melakukan penafsiran ala hermeneutan kecuali, dengan terlebih dahulu menurunkan derajat Al-Qur’an dari teks wahyu menjadi teks manusiawi, bahwa Al-Qur’an yang sudah keluar dari mulut Nabi Muhammad SAW adalah bahasa arab biasa yang dipahami oleh orang arab ketika itu. Pendapat Abu Zaid dan kalangan dekontruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang Al-Qur’an yang selama ini dijalani kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an baik lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Dalam konsep islam nabi Muhammad Saw hanyalah sekedar menyampaikan dan tidak mengapreasikan atau menadah wahyu yang diterimanya, dan tidak terpengaruh oleh kondisi kejiwaan, social dan budaya setempat pada ketika itu. Beliau tidak menambah atau mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah SWT pada beliau melalui malaikat Jibril. Beliaupun terjaga dari kesalahan, karena beliau maksum.



BAB IV
KESIMPULAN
1.      Secara etimologi, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seorang yang dipercaya sebagai utusan Tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi islam juga dikaitkan dengan figure Nabi Idris.
2.      Abad ke-20 hermenautika mulai merasuk kepada para pemikir islam sebagai buah dari studi islam di Barat. Muhammad Arkoen adalah orang yang pertama kali membawa konsep hermeneutika kedalam dunia islam, kemudian dilanjutkan oleh Nars Hamid Abu Zayd. Akan tetapi pemikiran mereka ditolak oleh  para ulama’.
3.      Hermeneutika menyamaratakan seluruh teks yang akan ditafsirkan, jadi tidak ada istilah Kitab Suci atau teks yang disakralkan. Maka dari poin ini Al-Qur’an sudah tidak mungkin untuk ditafsirkan dengan konsep hermeneutika, karena Al-Qur’an lafadz dan maknanya dari Allah SWT dan kesuciannya terjaga sepanjang masa. Tidak seperti Taurat dan Injil yang banyak hilang dan banyak mengalami perubahan.
4.      Hermeneutika juga menuntut praktisinya untuk menganut paham relativisme (meragukan kebenaran) dan bersikap kritis terhadap teks. Dan inipun tidak mungkin untuk diterapkan dalam Al-Qur’an yang seratus persen kebenarannya Absolut dari Allah SWT.
5.      Metode hermeneutika lahir dari pandangan hidup, sehingga ia sangat terikat dan terpengaruh oleh sumber yang menghasilkan pandangan hidup itu. Sementara metode tafsir yang ada didalam islam lahir dari teologi islam sendiri. Sehingga penafsiran yang dihasilkan tidak bertentangan dengan konsep teologi islam.


PENUTUP
            Studi kritis dari metodologi, seperti hermeneutika pada tafsir Al-Qur’an yang mereka tekuni ini memeng suatu hal yang baru dalam khazanah islam. Dengan artian ulama’ terdahulu kita selalu menempatkan nash-nash syar’I (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai rujukan pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an, bukan pada historis konstektual, personal, temporal, relative atau metodologi-metodologi yang selalu mengedepankan rasional dan daya nalar manusia yang bersifat terbatas sebagai landasan. Dengan tujuan Al-Qur’an bukanlah lagi sesuatu yang sakral dan absolute, yang semua manusia mempunyai hak untuk menginterpretasikannya sesuka hati dan kita mempunyai tanggung jawab besar. Akan hal ini agar hergemoni pemikiran barat terutama bidang studi islam tidak serta merta memporak porandakan kontruksi syari’at islam kita yang luhur.
            Dan semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.


makalah hermeneutika

0 Response to "makalah hermeneutika"

APLIKASI PENGHASIL UANG

>